Minggu, 27 Mei 2012

Naturalisasi Ilmu


 Pendahuluan
Ada kesan kuat yang berkembang dikalangan sarjana barat bahwa “filsafat Islam” tidaklah benar-benar Islam. Filsafat islam tidaklah lebih sekedar sebagai penyambung peradaban yunani. Tidak ada autensitas dan keaslian didalamnya. Bahkan ada kemungkinan filsafat islam menjadi limbah yang mengotori kejernihan dan kebeningan arus peradaban yunani.[1]
Hal itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama kegairahan pelajar Muslim dalam menelaah, mengulas dan mempelajari teks-teks peradaban yunani. Kedua, penguasaan minim kalangan sarjana barat terhadap literature kebudayaan islam. 

Pembahasan
Naturalisasi ilmu menurut Prof. Sabra di pakai untuk merujuk pada proses alkulturasi dari sebuah ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru. Melalui proses inilah ilmu tersebut kemudian menjadi terasimilasi secara penuh pada tuntutan-tuntutan kebudayaan negeri tersebut, termasuk agamanya. Oleh karena itu, Naturalisasi bisa dipakai dalam arti mempribumikan ilmu asing sehingga cocok dengan nilai-nilai budaya atau pandangan keagamaan sebuah negeri atau peradaban.
Demikian juga ketika para filosof yunani mengolah informasi ilmiah yang mereka himpun dari wilayah wilayah sekitarnya mereka mengadakan pewargaan (naturalisasi) terhadap ilmu-ilmu yang mereka peroleh disana dengan corak khas pemikiran Yunani pada saat itu yang bersifat rasionalistis.
Abu al-Hasan al-Amiri, seorang filosof muslim abad ke 10, mengatakan bahwa Pythagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir, sedangkan metafisika dari sahabat-sahabat nabi Sulaiman. Demikian juga Empodekles, menurutnya, belajar filsafat dalam waktu yang cukup lama dari Lukman Al hakim, seorang filosof (Hakim) yang disinggung di dalam Al-Quran, dan hidup di Suriah pada masa nabi Daud as. Namun ketika kembali ke negerinya, Empodekles dikatakan mengembangkan ilmu yang diperolehnya menurut pemikirannya yang khas. Oleh karena itu, kata Al-Amiri kita tidak perlu heran kalau pemikirannya banyak yang bertentangan dengan ajaran gurunya.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa filosof besar yunani seperti, Empedokles, Phytagoras, Plato dan Aristoteles telah melakukan naturalisasi terhadap ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari sumber-sumber lebih awal, yang biasanya dikatakan lebih bersifat miotlogis dari pada ilmiah, ke dalam sebuah kerangka kerja ilmiah-filosofis mereka yang lebih rasional.
Proses naturalisasi terus berlangsung setelah masa Greeco-romawi dan lebih kentara lagi ketika islam muncul sebagai kekuatan politik dan peradaban yang besar. Prof. Sabra mengemukakan tiga tahap “naturalisasi” yang disebut dengan islamisasi ilmu yunani.
·        Tahap pertama, perolehan ilmu dan filsafat kuno, khususnya Yunani, melalui upaya penerjemahan karya-karya dari bahasa yunani dan suriah ke dalam bahasa arab yangdimulai kira-kira dimulai pada abad ke 8. Seperti diterjemahkannya ringkasan Galen atas karya besar Plato (Dialogue) yang berjudul Timaeus, hingga karya-karya Aristoteles, seperti De anima, book of animal, secret of the secret
(konon punya Aristoteles).[2]
 Ilmu Yunani memasuki dunia islam bukan sebagai sesuatu kekuatan yang menjajah dari pusatnya sebagi suatu kekuatan yang menjajah dari pusatnya yang kuat di Iskandariah, Antiok atau Harran, melainkan sebagai tamu yang diundang. Orang-orang yang membawanya masuk masih mengambil jarak dan menunjukkan hormatnya kepada Agama.
·        Tahap kedua, kewaspadaan dan pengambilan jarak ini telah memberi jalan pada rasa ingin tahu yang tinggi dan eksperimentasi intelektual.
·        Tahap ketiga, pada fase ini kita menemukan asimilasi penelitian filosofis dalam batas-batas persepsi/rambu-rambu agama. Pada fase ini, pengembangan pengetahuan dan teknik ilmiah serta medis kini sebagian besar terdiri dari orang-orang yang tidak saja muslim sejka lahir, tetapi juga telah terwarnai oleh kajian dan tradisi muslim, dan yang kerangka kerja konseptualnya telah dihasilkan dalam proses penciptaan pandangan muslim yang sadar.
Naturalisasi atau dalam hal ini asimilasi ilmu-ilmu Yunani dapat mengambil bentuk-bentuk yang bermacam-macam: justifikasi, adaptasi dan kritik.
a.       Justifikasi
Upaya seorang filosof atau ilmuwan untuk membenarkan pengadopsian filsafat yunani dengan berbagai alasan. Al-Amiri mengemukakan bahwa filsafat dan ilmu yunani tidak menjadi masalah untuk diadopsi karena filsafat yunani mempunyai sumber dan tradisi kenabian yang sama.
Diantaranya hasil pemikiran Filosof Yunani, pemikiran Plato yang menerangkan tentang Tuhan, Plato mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia ynag tidak pantas bagi manusia apabila tidak mengetahuinya, yaitu:
1.      Manusia mempunyai Tuhan Sebagai penciptanya,
2.      Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia.
3.      Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari tidak teratur menjadi mempunyai peraturan.[3]
b.      Adaptasi
Bentuk kedua naturalisasi ilmu Yunani kedalam dunia islam adalah sikap selektif dari para pemikir Muslim dalam memilih dan mengadaptasi bahan-bahan yang tersedia agar tidak terjadi benturan nilai dan ideologis dengan nilai dan kepercayaan islam saat itu. Para filosof muslim nenyambut gembira pemikiran pemikiran yunani yang dipandang mendukung pemikiran-pemikiran yunani yang dipandang mendukung pandangan tauhid islam.
Sikap selektif ini ditunjukkan oleh Al-Ghazali memilah empat bagian filsafat:
·        Bagian yang tidak berkaitan dengan agama dan sudah semestinya tidak dipersoalkan lagi, sperti logika yang merupakan perangkat berfikir manusia;
·        Bagian yang tidak bersentuhan dengan agama, akan tetapi mengingat tingkat kepastiannya, ia dapat menjebak  pelajar sehingga beranggapan bahwa semua ilmu filsafat memilikiderajat kepastian yang sama;
·        Bagian yang berkaitan dengan persoalan etika dan politik yang diuraikan secara tak terbantahkan. Segenappetuah baik dan prinsip yang ada di dalamnya sesungguhnya berasal dari ajaran para nabi atau para sufi;
·        Bagian yang berisi inti dari kekeliruan dan kerancuan para filosof.[4]
c.       Kritik
Naturalisasi juga mengambil bentuk kritik terhadap ajaran-ajaran ilmiah dan filosofis Yunani. Beberapa pemikir muslim telah menunjukkan sikap kritis dalam kajian ilmiah. Diantaranya ibn Sina dan Ibn Rusyd, yang sering menemukan kejanggalan-kejanggalan atau kerancuan-kerancuan dalam ajaran filosof yunani.  Untuk itu, mereka merasa perlu untuk memperbaiki atau mengkritiknya agar lebih cocok atau sesuai dengan mereka sebagai seorangfilosof muslim.
Diantarnya kritik ibn Sina terhadap argument Aristoteles tentang adanya tuhan. Setelah mempelajari argument-argumen aristoteles, ibn Sina menemukan kekurangan bahkan kekeliruan dari metode pembuktian Tuhan oleh Aristoteles dan para komentatornya.
Penutup
Demikianlah tiga bentuk naturalisasi yang dilakukan kaum muslimin terhadap warisan ilmiah dan filosofis Yunani yang menggambarkan secara singkat proses naturalisasi ilmu yang terjadi didunia islam, dan bahkan sebelumnya. Sketsa historis naturalisasi ilmu perlu untuk di diskusikan untuk menunjukkan bahwa ilmu tidak bisa berkembang secara mandiri tanpa dipengaruhi oelh nilai-nilai budaya dan agama bahkan oleh situasi politik dan ekonomi.

Daftar pustaka
Kartanegara, Mulyadi. 2003. Pengantar Epistimologi Islam. Jakarta: Mizan
Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruz Media
Fakhry, Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan
Zar, Sirajjudin. 2010. Filsafat islam. Jakarta: Rajawali Pers


[1] Musa kazhim, Kekhasan Filsafat Islam
[2] Majid Fakhry. 2001. Sejarah Filsafat Islam hal 9
[3] Ali  Maksum,. 2011. Pengantar filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruz Media hal 68
[4] Fakhry, Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan hal  81

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

assalamualaikum

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda