Naturalisasi Ilmu
Pendahuluan
Ada
kesan kuat yang berkembang dikalangan sarjana barat
bahwa “filsafat Islam” tidaklah benar-benar Islam. Filsafat islam tidaklah
lebih sekedar sebagai penyambung peradaban yunani. Tidak ada autensitas dan
keaslian didalamnya. Bahkan ada kemungkinan filsafat islam menjadi limbah yang
mengotori kejernihan dan kebeningan arus peradaban yunani.[1]
Hal itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama kegairahan
pelajar Muslim dalam menelaah, mengulas dan mempelajari teks-teks peradaban
yunani. Kedua, penguasaan minim kalangan sarjana barat terhadap literature
kebudayaan islam.
Pembahasan
Naturalisasi
ilmu menurut Prof. Sabra di pakai untuk merujuk pada proses alkulturasi dari
sebuah ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru.
Melalui proses inilah ilmu tersebut kemudian menjadi terasimilasi secara penuh
pada tuntutan-tuntutan kebudayaan negeri tersebut, termasuk agamanya. Oleh
karena itu, Naturalisasi bisa dipakai
dalam arti mempribumikan ilmu asing sehingga cocok dengan nilai-nilai budaya
atau pandangan keagamaan sebuah negeri atau peradaban.
Demikian
juga ketika para filosof yunani mengolah informasi ilmiah yang mereka himpun dari
wilayah wilayah sekitarnya mereka mengadakan pewargaan (naturalisasi) terhadap
ilmu-ilmu yang mereka peroleh disana dengan corak khas pemikiran Yunani pada
saat itu yang bersifat rasionalistis.
Abu
al-Hasan al-Amiri, seorang filosof muslim abad ke 10, mengatakan bahwa
Pythagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir, sedangkan
metafisika dari sahabat-sahabat nabi Sulaiman. Demikian juga Empodekles,
menurutnya, belajar filsafat dalam waktu yang cukup lama dari Lukman Al hakim,
seorang filosof (Hakim) yang disinggung di dalam Al-Quran, dan hidup di Suriah
pada masa nabi Daud as. Namun ketika kembali ke negerinya, Empodekles dikatakan
mengembangkan ilmu yang diperolehnya menurut pemikirannya yang khas. Oleh
karena itu, kata Al-Amiri kita tidak perlu heran kalau pemikirannya banyak yang
bertentangan dengan ajaran gurunya.
Dengan
demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa filosof besar yunani seperti,
Empedokles, Phytagoras, Plato dan Aristoteles telah melakukan naturalisasi
terhadap ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari sumber-sumber lebih awal, yang
biasanya dikatakan lebih bersifat miotlogis dari pada ilmiah, ke dalam sebuah
kerangka kerja ilmiah-filosofis mereka yang lebih rasional.
Proses
naturalisasi terus berlangsung setelah masa Greeco-romawi dan lebih kentara
lagi ketika islam muncul sebagai kekuatan politik dan peradaban yang besar.
Prof. Sabra mengemukakan tiga tahap “naturalisasi” yang disebut dengan
islamisasi ilmu yunani.
·
Tahap pertama, perolehan
ilmu dan filsafat kuno, khususnya Yunani, melalui upaya penerjemahan karya-karya
dari bahasa yunani dan suriah ke dalam bahasa arab yangdimulai kira-kira
dimulai pada abad ke 8. Seperti diterjemahkannya ringkasan Galen atas karya
besar Plato (Dialogue) yang berjudul Timaeus, hingga karya-karya Aristoteles,
seperti De anima, book of animal, secret of the secret
(konon punya Aristoteles).[2]
(konon punya Aristoteles).[2]
Ilmu Yunani memasuki dunia islam bukan sebagai
sesuatu kekuatan yang menjajah dari pusatnya sebagi suatu kekuatan yang
menjajah dari pusatnya yang kuat di Iskandariah, Antiok atau Harran, melainkan
sebagai tamu yang diundang. Orang-orang yang membawanya masuk masih mengambil
jarak dan menunjukkan hormatnya kepada Agama.
·
Tahap kedua, kewaspadaan
dan pengambilan jarak ini telah memberi jalan pada rasa ingin tahu yang tinggi
dan eksperimentasi intelektual.
·
Tahap ketiga,
pada fase ini kita menemukan asimilasi penelitian filosofis dalam batas-batas
persepsi/rambu-rambu agama. Pada fase ini, pengembangan pengetahuan dan teknik
ilmiah serta medis kini sebagian besar terdiri dari orang-orang yang tidak saja
muslim sejka lahir, tetapi juga telah terwarnai oleh kajian dan tradisi muslim,
dan yang kerangka kerja konseptualnya telah dihasilkan dalam proses penciptaan
pandangan muslim yang sadar.
Naturalisasi
atau dalam hal ini asimilasi ilmu-ilmu Yunani dapat mengambil bentuk-bentuk
yang bermacam-macam: justifikasi, adaptasi dan kritik.
a. Justifikasi
Upaya
seorang filosof atau ilmuwan untuk membenarkan pengadopsian filsafat yunani
dengan berbagai alasan. Al-Amiri mengemukakan bahwa filsafat dan ilmu yunani
tidak menjadi masalah untuk diadopsi karena filsafat yunani mempunyai sumber
dan tradisi kenabian yang sama.
Diantaranya
hasil pemikiran Filosof Yunani, pemikiran Plato yang menerangkan tentang Tuhan,
Plato mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia ynag tidak
pantas bagi manusia apabila tidak mengetahuinya, yaitu:
1. Manusia
mempunyai Tuhan Sebagai penciptanya,
2. Tuhan
itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia.
3. Tuhanlah
yang menjadikan alam ini dari tidak teratur menjadi mempunyai peraturan.[3]
b. Adaptasi
Bentuk
kedua naturalisasi ilmu Yunani kedalam dunia islam adalah sikap selektif dari
para pemikir Muslim dalam memilih dan mengadaptasi bahan-bahan yang tersedia
agar tidak terjadi benturan nilai dan ideologis dengan nilai dan kepercayaan
islam saat itu. Para filosof muslim nenyambut gembira pemikiran pemikiran
yunani yang dipandang mendukung pemikiran-pemikiran yunani yang dipandang
mendukung pandangan tauhid islam.
Sikap
selektif ini ditunjukkan oleh Al-Ghazali memilah empat bagian filsafat:
·
Bagian yang
tidak berkaitan dengan agama dan sudah semestinya tidak dipersoalkan lagi,
sperti logika yang merupakan perangkat berfikir manusia;
·
Bagian yang
tidak bersentuhan dengan agama, akan tetapi mengingat tingkat kepastiannya, ia
dapat menjebak pelajar sehingga
beranggapan bahwa semua ilmu filsafat memilikiderajat kepastian yang sama;
·
Bagian yang
berkaitan dengan persoalan etika dan politik yang diuraikan secara tak
terbantahkan. Segenappetuah baik dan prinsip yang ada di dalamnya sesungguhnya
berasal dari ajaran para nabi atau para sufi;
·
Bagian yang
berisi inti dari kekeliruan dan kerancuan para filosof.[4]
c. Kritik
Naturalisasi
juga mengambil bentuk kritik terhadap ajaran-ajaran ilmiah dan filosofis Yunani.
Beberapa pemikir muslim telah menunjukkan sikap kritis dalam kajian ilmiah. Diantaranya
ibn Sina dan Ibn Rusyd, yang sering menemukan kejanggalan-kejanggalan atau
kerancuan-kerancuan dalam ajaran filosof yunani. Untuk itu, mereka merasa perlu untuk
memperbaiki atau mengkritiknya agar lebih cocok atau sesuai dengan mereka
sebagai seorangfilosof muslim.
Diantarnya
kritik ibn Sina terhadap argument Aristoteles tentang adanya tuhan. Setelah
mempelajari argument-argumen aristoteles, ibn Sina menemukan kekurangan bahkan
kekeliruan dari metode pembuktian Tuhan oleh Aristoteles dan para
komentatornya.
Penutup
Demikianlah
tiga bentuk naturalisasi yang dilakukan kaum muslimin terhadap warisan ilmiah
dan filosofis Yunani yang menggambarkan secara singkat proses naturalisasi ilmu
yang terjadi didunia islam, dan bahkan sebelumnya. Sketsa historis naturalisasi
ilmu perlu untuk di diskusikan untuk menunjukkan bahwa ilmu tidak bisa
berkembang secara mandiri tanpa dipengaruhi oelh nilai-nilai budaya dan agama
bahkan oleh situasi politik dan ekonomi.
Daftar pustaka
Kartanegara, Mulyadi.
2003. Pengantar Epistimologi Islam.
Jakarta: Mizan
Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruz
Media
Fakhry, Majid. 2001. Sejarah
Filsafat Islam. Bandung: Mizan
Zar, Sirajjudin. 2010.
Filsafat islam. Jakarta: Rajawali Pers
Label: filsafat, makalah, pendidikan
0 Komentar:
Posting Komentar
assalamualaikum
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda