Ijtihad
Ijtihad
Ijtihad
menurut bahasa
1. Ijthad
berasal dari kata yang memiliki dua masdar yang berbeda yaitu:
·
جَهْدٌ yang berarti kesungguhan
atau sepenuh hati atau serius. Dapat ditemukan kata tersebut dalam surat
al-an’am ayat 109:
وَأَقْسَمُوْا
بِاللهِ جَهْدَ اَيْمَانِهِمْ...
Maka
bersumpahlah dengan Allah sesungguh-sungguh sumpah
· جُهْدٌDengan arti
kesanggupan yang didalamnya terkandung arti sulit, berat susah. Dapat ditemukan
dalam firman Allah dalam surat at taubah ayat 79:
وَالَّذِيْنَ
لَا يَجِدُوْنَ اِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرِيْنَ مِنْهُمْ...
Dan orang-orang yang
tidak memperoleh selain sekedar kesanggupannya, maka orang munafik itu menghina
mereka.
Dan adapun penambahan dua huruf yakni alif dan ta’ mempunyai
bebrapa maksud, diantaranya maksud yang tepat yaitu dalam perngertian “sangat.”
2. Ijtihad
menurut istilah teknis hukum (definisi)
Banyak rumusan mengenai definisi
ijtihad, tetapi satu sama lainya tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan salaing menguatkan dan
menyempurnakan. Diantara definisi
tersebut adalah:
a.
Menurut
iman al-syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli:
بَذْلُ
الْوُسْعُ فِيْ حُكْمِ شَرْعِيْ عَمَلِيْ بِطَرِيْقِ الْاِسْتِنْبَاطِ
Mengerahkan kemapuan
dalam memperoleh hukum syar’i bersifat amali melalui cara istilah.
b.
Menurut
ibnu subki ialah
اِسْتِفْرَاغُ
الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنِّ بِحُكْمِ شَرْعِيْ
Pengerahan
kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang syar’i
c.
Sedangkan
Saifuddin al-Amidi dalam bukunya al Hikam, menyempurnakan dua definis keduanya
dengan penambahan kata:
بِحَيْثُ يَحْسَ مِنَ
النَّفْسِ الْعَجْزِ عَنِ الْمَزِيْدِ فِيْهِ
Dalam bentuk yang
dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.
اِسْتِفْرَاغِ
الْوُسْعِ فِيْ طَلَبِ الظَّنِّ بِشَيْئٍ مِنَ الْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ بِحَيْثُ
يَحْسَ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزِ عَنِ الْمَزِيْدِ
فِيْهِ
Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu
dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih
dari itu.
Bila arti kata
(etimologis) ini di hubungkan dengan arti istilah (definitf) tentang ijtihad,
akan terlihat keserasian artinya, karena pada kata ijtihad itu memang
terkandung arti kesanggupan dan kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan
dengan kesungguhan serta sepenuh hati.
Dari analisa definisi dapat diambil hakikat ijtihad sebagai
berikut:
Ø Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal;
Ø Usaha Ijtihad yang dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat
tertentu dibidang keilmuan yang disebut faqih;
Ø Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan
yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
Ø Usaha ijtihad yang ditempuh melalui cara-cara istinbath.[1]
TAKLID
Pengertian
Taqlid secara bahasa artinya meniru,
menyerahkan, menghiasi, dan menyimpangkan. Sedangkan menurut istilah mengikuti
pendapat orang lain, tanpa mengetahui sumber atau alasannya
.
Taklid ialah mengikuti dan mempraktikkan fatwa-fatwa seorang
mujtahid yang telah memenuhi syarat.[2]
Hukum
bertaklid
Di dalam Al quran terdapat ayat yang melarang bertaqlid dan ada
juga yang mengisyaratkan untuk bertaqlid. Maka terdapat perbincangan yang
meluas dikalangan ulama tentang taklid. Sehingga ada dua pendapat tentang
taqlid yaitu ada sebagian yang mengharamkan dan ada juga yang menghalalkan.
Di antaranya
yang mengharamkan taqlid dengan bersandar pada ayat:
وَإِذَا
قِيْلَ لَهُمْ اِتَّبِعُوْامَاأَنْزَلَ اللهُ قَالُوْابَلْ نَتَّبِعُ مَا
اَلْفَيْنَ عَلَيْهِ أَبَاءَنَا...
Apabila dikatakan kepada mereka, “ikutilah apa
yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab
“(tidak) kami mengikuti apa-apa yang kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. (Al-Baqarah 170)
وَإِذَا
قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلىَ مَاأَنْزَلَ اللهُ وَإِلىَ الرَّسُوْلِ قَالُوْا
حَسْبُـنَاماوَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَـائَناَ...
“apabila dikatakan kepada
mereka, “marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti rasul,
mereka menjawab “cukuplah untuk kami apa yang dapati dari bapak-bapak kami
melakukannya. (Al-Maidah 104)
فَاعْتَبِرُوْا يَا أُوْلِى الاَبْصَارِ
Maka ambil I’tibar oleh mu hai orang orang yang mempunyai pikiran. (Al-Hasyr: 2)
Adapun yang membolehkan berataqlid dengan berlandasan dari ayat:
وَمَاأَرْسَلْنَـا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوْحِيْ
إِلَيْهِمْ فَـاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
“dan
kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui. (An-Nahl 43)
وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
Hendaklah kamu mengikuti nabi supaya kamu mendapat petunjuk.(Al-A’raf: 158)
Dalam hal beertqlid Ibnu Subki mengelompokkan umat menjadi empat
golongan:
a.
Orang
awam yang tidak mempunyai ke ahlian sama sekali;
b.
Orang
alim namun belum mencapai tingkatan mujtahid
c.
Orang
yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai tingkatan duagaan kuat (zhan)
d.
Mujtahid
Daftar Pustaka
Syarifuddin, Amir.2001. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: PT Logos Wacana
Ilmu
Januri, dan Saebani, Beni Ahmad.2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV
Pustaka Setia
Pur, Muhammad Ridha Musyafiqi.2010. Daras Fikih Ringkasan Fatwa Imam Ali
Khamenei. Jakarta: Al-huda
Label: makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
assalamualaikum
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda