Minggu, 27 Mei 2012

Ijtihad


Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa
1. Ijthad berasal dari kata yang memiliki dua masdar yang berbeda yaitu:
·         جَهْدٌ yang berarti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Dapat ditemukan kata tersebut dalam surat al-an’am ayat 109:
                            
وَأَقْسَمُوْا بِاللهِ جَهْدَ اَيْمَانِهِمْ...
Maka bersumpahlah dengan Allah sesungguh-sungguh sumpah


·        جُهْدٌDengan arti kesanggupan yang didalamnya terkandung arti sulit, berat susah. Dapat ditemukan dalam firman Allah dalam surat at taubah ayat 79:
وَالَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ اِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرِيْنَ مِنْهُمْ...
Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kesanggupannya, maka orang munafik itu menghina mereka.

Dan adapun penambahan dua huruf yakni alif dan ta’ mempunyai bebrapa maksud, diantaranya maksud yang tepat yaitu dalam perngertian “sangat.”

2. Ijtihad menurut istilah teknis hukum (definisi)
            Banyak rumusan mengenai definisi ijtihad, tetapi satu sama lainya tidak mengandung        perbedaan yang prinsip, bahkan salaing menguatkan dan menyempurnakan. Diantara           definisi tersebut adalah:
a.       Menurut iman al-syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli:
بَذْلُ الْوُسْعُ فِيْ حُكْمِ شَرْعِيْ عَمَلِيْ بِطَرِيْقِ الْاِسْتِنْبَاطِ
Mengerahkan kemapuan dalam memperoleh hukum syar’i bersifat amali melalui cara istilah.

b.      Menurut ibnu subki ialah
اِسْتِفْرَاغُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنِّ بِحُكْمِ شَرْعِيْ
Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang syar’i

c.       Sedangkan Saifuddin al-Amidi dalam bukunya al Hikam, menyempurnakan dua definis keduanya dengan penambahan kata:

بِحَيْثُ يَحْسَ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزِ عَنِ الْمَزِيْدِ فِيْهِ
            Dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.

اِسْتِفْرَاغِ الْوُسْعِ فِيْ طَلَبِ الظَّنِّ بِشَيْئٍ مِنَ الْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ بِحَيْثُ
 يَحْسَ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزِ عَنِ الْمَزِيْدِ فِيْهِ
Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.

            Bila arti kata (etimologis) ini di hubungkan dengan arti istilah (definitf) tentang ijtihad, akan terlihat keserasian artinya, karena pada kata ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhan serta sepenuh hati.
Dari analisa definisi dapat diambil hakikat ijtihad sebagai berikut:
Ø  Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal;
Ø  Usaha Ijtihad yang dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu dibidang keilmuan yang disebut faqih;
Ø  Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
Ø  Usaha ijtihad yang ditempuh melalui cara-cara istinbath.[1]




TAKLID
Pengertian
Taqlid secara bahasa artinya meniru, menyerahkan, menghiasi, dan menyimpangkan. Sedangkan menurut istilah mengikuti pendapat orang lain, tanpa mengetahui sumber atau alasannya
.
Taklid ialah mengikuti dan mempraktikkan fatwa-fatwa seorang mujtahid yang telah  memenuhi syarat.[2]

Hukum bertaklid
Di dalam Al quran terdapat ayat yang melarang bertaqlid dan ada juga yang mengisyaratkan untuk bertaqlid. Maka terdapat perbincangan yang meluas dikalangan ulama tentang taklid. Sehingga ada dua pendapat tentang taqlid yaitu ada sebagian yang mengharamkan dan ada juga yang menghalalkan.

Di antaranya yang mengharamkan taqlid dengan bersandar pada ayat:
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ اِتَّبِعُوْامَاأَنْزَلَ اللهُ قَالُوْابَلْ نَتَّبِعُ مَا اَلْفَيْنَ عَلَيْهِ أَبَاءَنَا...
Apabila dikatakan kepada mereka, “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka        menjawab “(tidak) kami mengikuti apa-apa yang kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. (Al-Baqarah 170)
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلىَ مَاأَنْزَلَ اللهُ وَإِلىَ الرَّسُوْلِ قَالُوْا حَسْبُـنَاماوَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَـائَناَ...
“apabila dikatakan kepada mereka, “marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti rasul, mereka menjawab “cukuplah untuk kami apa yang dapati dari bapak-bapak kami melakukannya. (Al-Maidah 104)
فَاعْتَبِرُوْا يَا أُوْلِى الاَبْصَارِ

Maka ambil I’tibar oleh mu hai orang orang yang mempunyai pikiran. (Al-Hasyr: 2)

Adapun yang membolehkan berataqlid dengan berlandasan dari ayat:
وَمَاأَرْسَلْنَـا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوْحِيْ إِلَيْهِمْ فَـاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
“dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An-Nahl 43)
وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
Hendaklah kamu mengikuti nabi supaya kamu mendapat petunjuk.(Al-A’raf: 158)

Dalam hal beertqlid Ibnu Subki mengelompokkan umat menjadi empat golongan:
a.       Orang awam yang tidak mempunyai ke ahlian sama sekali;
b.      Orang alim namun belum mencapai tingkatan mujtahid
c.       Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai tingkatan duagaan kuat (zhan)
d.      Mujtahid



Daftar Pustaka
Syarifuddin, Amir.2001. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu
Januri, dan Saebani, Beni Ahmad.2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia
Pur, Muhammad Ridha Musyafiqi.2010. Daras Fikih Ringkasan Fatwa Imam Ali Khamenei. Jakarta: Al-huda



[1] Prof. DR. H. Amir Syarifuddin hal 226
[2] Ringkasan Fatwa imam Ali Khamenei hal 21

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

assalamualaikum

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda