Kamis, 06 September 2018

Asah, Asih dan Asuh


oleh Alee Imron

Lambat kian lembut
asah kehilangan asih
asah pandang asuh
Lusuh adalah musuh

angan menguap bak angin
menguat tapi tak mengait

jerit kian menjerat
penat kian menambat

Amit aku MENGUMPAT




Bait diatas merupakan bias fenomena dalam pendidikan. Mendidik (mengasah) harus dengan asih. Pendidikan terbaik adalah dengan teladan, perkataan yang menyentuh adalah yang lembut. Jeritan dan bentakan hanya akan menjadikan anak semakin keras bahkan semakin bingung dan linglung, slow respon, tulalit, minder dan yang berbahaya anak akan menjadi semakin brutal dan liar. Karena kekerasan harus tunduk dengan kekerasan.
Menjadi sulit dan bahkan mustahil apabila mendidik tanpa perasaan asih. Bahkan yang terjadi adalah pendidik menyalahkan keaadaan, bukan mencari jalan keluar justru semakin mempermasalahkan.
Setiap anak memiliki latar belakang yang berbeda. Berbeda pula permasalahan dan hambatan yang dimiliki dalam belajar. Pemantiknya adalah rasa cinta seorang guru tanpa membeda-bedakan. Seorang guru harus memiliki cinta universal, bahwa setiap siswa adalah berharga dan sama. Setiap siswa memiliki hak dicintai oleh guru. Seorang guru tidak bisa subjektif bahkan pilih kasih kepada beberapa siswa mungkin karena memandang kedekatan atau karena sebab-sebab yang lain.
Suatu hal yang tidak disukai oleh siswa adalah seorang guru yang memuji atau mengunggulkan seorang siswa dari siswa lain. Siswa semakin cemburu bahkan iri apalagi jika siswa melihat banyak kekurangan yang ada pada siswa yang diunggulkan.  
Lusuh adalah musuh, lusuh kian tak tersentuh. Penampilan fisik siswa juga menjadi ujian bagi seorang guru untuk menyikapinya secara adil. Tidak jarang kita melihat seorang siswa memakai pakaian yang kurang layak, dan kurang enak untuk dipandang. Bisa jadi karena kemampuan ekonomi atau kemampuan untuk memahami bagaimana berpakaian. Tapi bukanlah alasan untuk membeda-bedakan.
Seorang guru memiliki keinginan dan target yang harus dicapai. Guru memiliki keinginan kuat supaya siswanya menjadi pribadi tangguh dan unggul dalam segala kemampuan. Namun, keinginan tersebut harus melihat kemampuan siswa dan daya dukung lingkungan. Jangan sampai siswa semakin kebingungan karena target yang begitu tinggi tidak sesuai dengan kondisi. Tidak salah dengan keinginan yang lebih, namun juga harus disertai dengan menejerial yang teratur dan terukur. Jangan sampai target tidak pernah terwujud karena sistem yang salah dan hanya menuruti emosi yang musiman.
 


Label:

Senin, 03 September 2018

Anakku ‘patuh’ bersyarat

gambar ilustrasi sumber https://www.google.com

oleh : Alee Imran

Sering saya temui kasus seorang anak yang mau belajar, mau sholat dan lain-lain asalkan permintaannya dituruti terlebih dahulu oleh orang tua. Contoh seorang anak mau masuk kelas dan belajar asal dia dibelikan mainan atau jajan dulu. Sebagai orang tua pasti akan memberikan apapun asal anak bahagia dan mau belajar.
Kepatuhan yang bersyarat ini akan menjadi tabiaat kebiasaan si ‘anak’ untuk menjadikan orang tua sebagai tawanan. Mengapa? Tangisan akan dijadikan untuk mendapat sesuatu yang diinginkan oleh anak. Anak akan berfikir kalo aku nangis orang tuaku luluh, aku mendapatkan mainanku atau keinginan yang lain. Bahkan tidak jarang seorang anak yang meminta motor sebagai syarat dia mau sekolah bahkan ada yang mengancam untuk bunuh diri jika keinginannya tidak dituruti oleh orang tua.
Kebiasaan seperti ini, secara tidak langsung kita menanamkan pola pikir bahwa sesuatu bisa didapatkan hanya dengan meminta. Pola pikir seperti ini menjadikan anak semakin egois, tidak mau kerja keras, tidak kreatif serta lari dari tanggung jawab permasalahan yang dihadapi.
Beberapa tips yang bisa digunakan untuk mengatasinya
1.   Memberikan pemahaman mana kebutuhan priorotas buat si anak.
2.  Bersikap tegas dan tidak menuruti permintaan anak.
3.  Orang tua memberikan cara bagaimana mendapatkannya bukan cara memberikannya langsung, misal menabung atau menjual sesuatu yang bisa dimanfaatkan labanya walaupun pada akhirnya pasti orang tua lebih banyak menambahnya.
4.  Membiarkannya dan tidak berkomunikasi beberapa waktu.

Label: