Minggu, 27 Mei 2012

Menjamak Sholat Tanpa Halangan


"Menjamak salat tanpa halangan, boleh atau tidak"?(*)
Ketika itu Rasulllah melaksanakan solat berjamaah di kota Madinah, tepatnya salat Zuhur pada permulaan waktunya. Usai melaksanakan salat Zuhur, tiba-tiba beliau bangkit dan berkata pada para sahabat yang kala itu bermakmum pada beliau: "Marilah sekarang kita melaksanakan salat Asar". Tanpa banyak bertanya-tanya lagi, para sahabat yang kala itu salat bermakmum di belakang Rasulallah langsung berdiri dan melaksanakan perintah dari Rasulallah, mereka salat Asar secara berjamaah bersama Nabi. Usai menunaikan salat Asarnya, muncullah pelbagai pertanyaan dan kasak kusuk yang waktu itu salah seorang dari para sahabat Nabi bertanya langsung pada beliau: "Wahai Baginda Rasulallah, apa gerangan yang telah terjadi sehingga engkau melakukan salat Zuhur dan Asar diwaktu Zuhur?
Adakah perubahaan pada waktu menunaikan Ibadah salat yang telah engkau tetapkan sebelumnya? Menganpa kita menjamak salat Zuhur dan Asar diwaktu Zuhur? Bukankah salat Asar mempunyai waktu tersendiri yang pernah engkau sabdakan pada kami?" Rasulallah menjawab: "Tidak, sama sekali tidak ada perubahan waktu yang pernah saya ajarkan kepada kalian. Namun aku lakukan yang demikian ini agar ummatku dimasa mendatang kelak dapat melaksanakan Ibadah salatnya walaupun di tengah-tengah aktivitas serta rutinitas pekerjaannya di setiap hari". Dalam rirwayat yang lain Rasulallah bersabda: "Aku lakukan semua ini agar Ibadah salat tidak menjadi beban pada ummatku dikemudian hari". Dalam riwayat yang lain: " Aku melakukan ini agar waktu menjadi lapang pada ummatku dalam mencari rezeki di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Itulah beberapa sabda dari puluhan sabda Rasulallah dengan berbagai fariasi, jalan serta ungkapan yang dimuat oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan lainnya yang dengan jelas serta gamblang membolehkan kita menjamak salat-salat wajib kita di dalam kesibukan pekerjaan sehari-hari yang tujuannya memberikan keringanan serta kelonggaran pada umat islam dalam melakukan Ibadah salat mereka ditengah tengah aktivitasnya.
Waktu itu, saya berbincang-bincang dengan salah seorang pengemudi taksi yang mengantarkan saya usai mengajar di salah satu tempat di Jakarta, membuat si pengemudi merasa sedikit tertegun dan terkesima. Betapa tidak, karena sekarang dia mendapatkan satu rumusan baru dalam melaksanakan Ibadah solat, yaitu cara yang mudah, simple dan sederhana mengenai: “Bagaimana cara untuk menjalankan Ibadah solat fardhu dengan sempurna dan sah, di dalam kesibukan sehari-hari dan padat serta sempitnya waktu.”
Padahal, sebelumnya dia beranggapan bahwa seolah-olah solat itu adalah ‘kendala’ atau rintangan serta beban yang menganggu dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Kadangkala, ketika dia mengoperasikan mobil taksinya, dia harus terlambat mengerjakan solat fardunya, baik itu solat dhohor, ashar, maghrib atau isya, hingga dia tertinggal dari waktunya, atau mungkin dia tidak sempat mengerjakannya bahkan  meninggalkannya sama sekali.
  Pertanyaan demi pertanyaan timbul pada diri saya, bagaimanakah pekerjaan yang dilakukan oleh rekan-rekan sejawat dengan sopir taksi tadi, apakah mereka mempunyai problematika yang sama dalam menjalankan Ibadah solat di tengah-tengah rutinitasnya?
Apakah sopir angkutan, sopir bis kota, para montir yang sehariannya berada dibengkel-bengkel bernodakan minyak pelumas yang sulit dibersihkan oleh air wudhu dalam waktu singkat begitu juga kaum pekerja yang mereka itu adalah mayoritas seperti kaum buruh, pedagang, petani serta kuli kasar, para pelajar dan mahasiswa, karyawan dan karyawati apakah mereka mempunyai masalah dalam melaksanakan salatnya? Para dokter yang kadang-kadang harus bekerja berjam-jam tanpa henti dalam menangani pasien baik dikamar bedah atau diruang prakteknya.
Apakah petugas keamanan yang sigap dan siaga tanpa mengenal waktu dan cuaca, kaum selebritis yang harus ber jam-jam dalam shooting serta persiapannya, juga para pejabat negara yang sibuk dengan scidule rapat serta pertemuan-pertemuan. Apahah kesemuanya mengetahui atau tidak bahwa agama Islam itu adalah agama yang sangat mudah simple dan praktis?
Setiap pengemudi taksi yang saya ajak bicara, kebanyakan mereka mengeluhkan tentang pelaksanaan solat ditepat waktu. Dan saya yakin problema ini bukan hanya dimiliki oleh pengemudi taksi saja.
Coba perhatikan jika kita mengikuti acara sidang, baik itu di kejaksaan ataupun pengadilan. Kadangkala waktu persidangan berlarut-larut dan berjalan lamban sehingga para jaksa atau hakim, terdakwa dan para hadirin yang ada harus ketinggalan dalam melaksanakan salatnya.
Para olahragawan atau olahragawati, sebelum kompetisi dimulai mereka harus mengenakan pakaian uniform yang sudah di tetapkan. Mungkinkah mereka meninggalkan lapangan dengan alasan akan melaksanakan salat sementara mereka masih disibukkan dengan pertandingan yang masih dan belum terselesaikan. Itu baru problema mereka, lalu bagaimana dengan para seporter yang datang memenuhi tribun di glora atau lapangan tepat pada pukul 14.00 siang misalnya dan mereka tiba dirumahnya tepat pukul 22.00 malam karena transportasi yang susah dan macet disana sini?
Sebagai contoh adalah para wartawan serta wartawati yang akan meliput suatu berita atau peristiwa atau mewawancarai pejabat tertentu, mereka pasti akan menyiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan liputan tersebut dan harus mengosongkan waktunya sebelum acara itu dimulai tanpa harus melihat jam untuk menunaikan salat. Sebagai kaum lelaki, pasti dengan mudah mendirikan salat walaupun di mana saja, baik itu di lapangan terbuka, di dirumah seseorang yang tidak kita kenal bahkan di pelataran gedung serta tempat-tempat yang dianggap memenuhi syarat dalam melaksanakan salatnya. Yang jadi pertanyaan adalah: "Apakah saudari-saudari kita para wartawati dapat melakukannya dengan mudah dan bebas ditempat-tempat yang saya sebutkan tadi? Bagaimana nasib salat-salat mereka serta pelaksanaan salatnya?
Menjakmak antara dua solat sebenarnya dalam agama Islam dibolehkan dalam pelaksanaannya baik itu disertai adanya sebab-sebab yang membolehkannya atau tidak ada sebab sama sekali. Dengan kata lain bahwa menjamak antara dua solat bisa dilakukan dengan adanya kesulitan atau dapat pula dilakukan dengan tidak ada kesulitan. Bahkan telah beredar hadis-hadis “Mutawatir”(hadist yang diriwayatkan oleh banyak sahabat) yang menceritakan bahwa Rasulullah saw telah menjamak dua shalat; antara solat Zuhur dan Ashar, juga antara solat Maghrib dan Isya, baik dengan jama taqdîm dan atau jama takhîr, dalam keadaan hadir atau muqiim (tidak bepergian) tanpa ada halangan apapun. Hadis-hadis tersebut telah diriwayatkan dan diakui (baik secara terperinci atau global) oleh para
Imam mazhab, para penulis kitab hadis, semua penulis kitab musnad dan sunan, penulis kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab sejarah. Pendapat inipun diakui oleh berbagai aliran serta madzhab Islam seperti aliran dan madzhab Syiah misalnya yang merupakan guru atau sesepuh dari madzhab-madzab islam yang ada dan tersebar sekarang ini. Juga Madzhab Al-Hanafiyyah, Al-Syafiiyah, Al-Malikiyah, Al-Hanbaliyah. Dari banyaknya hadis-hadis seputar masalah ini yang diriwayatkan oleh mereka, hingga masalah ini hampir mencapai peringkat “Ijma”.
Allah SWT telah menyempurnakan agama islam dan telah melengkapi hamba-hamba-Nya yang beriman dengan berbagai karunia serta nikmat yang dianugerahkan oleh-Nya, diantara Karunia dan nikmat-Nya adalah diutus-Nya seorang Rasul yang paling mulia diantara para utusan-Nya yaitu Nabi Muhammad SAW. Bukan sekedar itu saja bahkan ia dibekali dengan kitab panduan yaitu kitab suci Al-Qur’an Al-Karim sebagai kitab pedoman penyempurna kitab-kitab Allah SWT yang pernah diturunkan pada para Rasul terdahulu. Selain itu Nabi Muhamad SAW dijadikan sebagai Nabi dan Rasul penutup dan penyempurna dari sekian banyak ajaran para Nabi dan Rasul yang pernah diutus dalam misi menyampaikan ajaran Ilahi.
Agama Islam adalah agama yang simple, mudah, praktis, dan fleksibel dalam mengantisipasi setiap perubahan serta tuntutan zaman hingga akhir masa kelak. Betapa tidak, Allah SWT banyak sekali memberikan kemudahan-kemudahan pada aturan, tugas  serta hukum yang diwajibkan atas setiap hamba-Nya jika kewajiban dan tugas yang dibebankan oleh Allah SWT  dalam kondisi tertentu sangat menyulitkan atau tak dapat dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Allah SWT berfirman:"Dan Kami akan memberikankamu (taufik) kepada jalan yang mudah"
            Dalam Tafsir arti ayat ini ialah: ”Sesungguhnya Kami (Allah) akan memberikan kamu (Muhammad) syareat yang mempunyai keistimewaan dari ajaran-ajaran Syareat yang pernah Kami turunkan pada Rasul-Rasul sebelum kamu dengan aturan yang sangat mudah dan ringan. Sehingga Rasulallah SAW menanggapi ayat- ini dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam sohihnya: "Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah" Juga dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh (imam) Ahmad dalam musnadnya: “Aku diutus dengan membawa agama yang benar dan mudah”
            Imam Ahmad Bin Hanbal dalam Musnadnya meriwayatkan: “Yunus telah memberitakan kepada kami, Hammâd, yakni Ibnu Zaid memberitakan kepada kami, dari Zubair, yakni Ibnu Khariyyat, dari Abdullah bin Syaqîq, ia berkata, ‘Pada suatu hari Ibn Abbas berkhotbah setelah Ashar sampai mata hari tenggelam dan mulai bermunculan bintang-bintang (malam). Orang-orang yang mulai berkomentar seraya memanggil-manggilnya, (telah tiba waktu) shalat!!. Di antara orang-orang tersebut terdapat seseorang dari Bani Tamim dan ia berkata pada Ibnu Abbas yang kala itu masih menyampaikan pidatonya di atas mimbar: "shalat, shalat" !! maka (Ibn ‘Abbas) marah dan menjawab protes orang tersebut seraya berkata: "Apakah Anda hendak mengajari aku Sunnah Nabi? Saya telah menyaksikan Rasulullah saw menjamak antara Zuhur dan Ashar,  antara Maghrib dan Isya". Abdullah berkata, ‘Saya merasa ada ganjalan atas (ucapannya Ibn Abbas) tadi, maka saya menemui Abu Hurairah dan saya menanyainya (tentang dibolehkan menjamak antara solat-solat) lalu dia pun (Abu Hurairah) membenarkan ucapan Ibnu Abbas tadi dan mengakuinya.
Imam Muslim dalam telah meriwayatkan dalam Shahih-nya, pada Bab Jama Antara Dua Shalat Dalam Kondisi Hadir. Ia berkata, “Yahya bin Yahya telah memberitakan kepada kami, ia berkata, ‘Malik dari Abiz Zubair, dari Sa`îd bin Zubair, dari Ibn Abbas, ia berkata, ‘Nabi saw shalat Zuhur dan Ashar bersamaan, Maghrib dan Isya bersamaan, tidak dalam ketakutan dan tidak pula dalam safar
Abu Dâwud Ath-Thayâlisî meriwayatkan dalam Musnad-nya, dia berkata, Habîb dari Amr bin Haram memberitahukan kepada kami, dari Sa`îd bin Jubair: "Sesungguhnya Ibn Abbas telah menjamak antara Zuhur dan Ashar karena suatu kesibukan dan ia berargumen bahwa ia pernah shalat Zuhur dan Ashar secara bersamaan bersama Rasulullah Saw di Madinah".
Dalam bedah buku "Menjamak salat tanpa halangan, boleh atau tidak?"(Sebagai informasi; Buku ini termasuk buku 'Best Seller' serta telah beredar di toko-toko buku. Memaparkan secara lengkap dan gamblang teori ini, dilengkapi dengan dalil-dalil kuat lintas madzhab serta fatwa-fatwa ulama terdahulu hingga masa kini) Salah seorang yang hadir bertanya: "Apakah itu tidak termasuk mengentengkan salat? Karena yang kita ketahui bahwa setiap salat mempunyai waktu tersendiri, sedangkan menjamak salat tanpa halangan yang jelas seolah-olah (menunaikan salat dhohor diwaktu ashar atau mengerjakan salat Asar diwaktu dhohor) adalah termasuk mengentengkan salat dan hanya mementingkan atau mendahulukan urusan duniawi dibandingkan urusan ukhrawi?. Saya jawab: "Sebaiknya anda membaca istighfar, karena masalah ini bukan membahas mengenai afdholiah (yang lebih utama), namun yang dibahas adalah “boleh dan tidaknya”. Mengapa saya katakan anda harus ber istighfar? Karena Rasulallah sendiri sebagai sosok yang harus kita panuti serta suri tauladan bagi kita semua beliau melakukannya. Apakah anda menganggap bahwa perbuatan Rasulallah SAW termasuk mengentengkan agama sedangkan dia adalah manusia yang paling taqwa disisi Allah SWT? Dalam madzab islam manapun para ulama sepakat bahwa "Salat itu lebih afdhol (utama) jika dilakukan sesuai waktunya. Namun Rasulallah melakukan menjamak bukan mengentengkan salat akan tetapi beliau menjelaskan: "Kulakukan semua ini agar ummatku tidak merasa berat dalam melaksanakan salatnya ditengah rutinitas mereka sehari-hari" Dalam ucapan yang lain: "Agar salat tidak membebani mereka" Dalam sabdanya yang lain: "Agar ummatku mempunyai keleluasaan waktu dalam bekerja"
Dalam kitab  Fatawa mu’ashirah oleh Dr.Yusuf Ghordowy (salah seorang pemuka agama islam yang paling alim dan terkemuka di Mesir dan kini berdomisili di Negara Qatar) ketika ditanyakan pada beliau mengenai: “Apakah boleh menjamak antara dhohor dan ashar karena akan menghadiri upacara, resepsi atau seremonial yang acaranya dimulai setelah dhohor hingga maghrib?. Beliau menjawab: “Para ulama HaNabilah (madzhab hambali) membolehkan bagi kaum muslimin atau muslimat menjamak antara solat dhohor dan ashar. Juga antara sholat maghrib dan isya pada waktu-waktu tertentu yang disebabkan oleh uzur. Dan ini adalah kemudahan (keringanan) yang sangat besar (manfaatnya). Dalilnya adalah Rasulallah pernah menjamak (dua sholat) tanpa ada alasan uzur dan safar. Ketika ibnu Abbas ditanya: ”Apa yang menyebabkan Rasulallah melakukan hal itu?” Dia menjawab: ”Rasulallah menginginkan agar (solat) tidak menjadi beban pada ummatnya kelak”.
            Lalu DR. Yusuf Ghordowy dalam fatwanya melanjutkan: “Jika pada suata saat, ternyata kita merasa sulit mengerjakan solat-solat wajib tepat waktu, maka boleh saja solat tersebut di jamak”. Kemudian beliau memberikan contoh-contoh: “Seperti polisi lalu lintas yang bertugas sebelum waktu maghrib hingga sesudah isya, maka dibolehkan bagi dia menjamak solat maghrib dan isyanya”. Lalu beliau menutup ucapannya: ”Demikianlah, dan barang siapa yang mendapatkan kesulitan solat pada waktunya, maka dibolehkan bagi mereka agar menjamak solatnya- Wallahu a’lam” 
Ibnu Hajar dalam syarah Al-Bukhary menukil: “Sebagian Ulama membolehkan menjamak sholat diwaktu sakit, dan pendapat ini dikuatkan (disetujui) oleh Imam Nawawy”. juga pendapat Ahmad (bin Hanbal) dan Isha begitu pula pendapat sebagian dari ulama madzhab Syafi’i yang mengkiaskan sakit dengan musafir. Sebagaimana Allah SWT telah memberikan keringanan pada sakit dan musafir ketika keduanya dibolehkan berbuka puasa dan menggunakan fasilitas tayammum”.
Dalam kitab "Ainy Fi ‘Umdah Al-Qary" berkata ‘Iyadh: “Menjamak antara solat yang dapat dijama terkadang hukumnya “Sunnah” dan terkadang hukumnya “Rukhshoh”. Adapun Sunnahnya ketika menjamak di ‘Arafah dan Muzdalifah (buat yang tengah menunaikan Ibadah haji), adapun yang rukhsoh yaitu mereka yang menjamak solatnya dalam kondisi musafir, sakit dan hujan”. Bebitu pula buat mereka yang menyusui bayi”
Ibnu Tai miyah berkata: “Madzhab Ahmad (bin Hanbal) membolehkan menjamak antara dua shalat jika sibuk bekerja seperti telah diriwayatkan oleh al-Nasai. Lalu dia melanjutkan: “Dibolehkan pula menjamak (antara dua shalat) untuk para juru masak (ketering dan sejenisnya) serta para pembuat roti (makanan pokok-pen) dan sejenisnya, dikhawatirkan waktu (solat-solatnya) akan membuat usahanya tidak terkendali dan rusak. Juga bagi mereka yang jika tidak menjamak solat-solatnya, maka usaha atau pekerjaannya akan menjadi gagal dan terlantar (maka dibolehkan bagi mereka menjamak solat-solatnya-pen). Termasuk dalam koridor ini yaitu kaum pekerja serta para buruh dan petani yang disibukkan dalam mengatur irigasi bagi perkebunan dan sawahnya”.
Buku ini "Menjamak salat tanpa halangan, boleh atau tidak?"sengaja sasa luncurkan, agar mereka yang merasa disibukkan oleh kegiatan dalam menjalankan tugas serta kewajiban sehari-hari dan mereka adalah mayoritas, tetap dapat menunaikan kewajiban salat walaupun ditengah-tengah kesibukan mereka. Karena agama Islam memerintahkan kita untuk banyak berusaha dan bekerja.
Sesungguhnya Allah SWT memberikan kesempatan yang sama pada seluruh manusia. Baik yang beragama Islam ataupun selainnya, dengan catatan: "Siapa yang banyak berkerja, maka dia akan banyak pula menghasilkan”. Disamping itu Allah SWT memberikan banyak keringanan dalam Syariat-Nya pada setiap perintah yang menyulitkan dalam pelaksanaannya. Allah SWT pasti akan memberikan way out, solusi serta jalan-jalan alternatif dan kemudahan pada segenap hamba-Nya. Karna hanya Dialah yang sangat mangetahui pada kemampuan mahluk-Nya, Pengasih pada seluruh ciptaan-Nya dan Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya.
Wassalamualaikum
(*) Judul Buku: "Menjamak salat tanpa halangan, boleh atau tidak"?Penerbit: Lentera.Cetakan ke Empat: Mai 2006.
Karya: Alwi Husein, Lc.  Alumni Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Cairo.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

assalamualaikum

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda