Sabtu, 31 Agustus 2013

Menjamak Sholat Tanpa Halangan

Pendahuluan
Menjamak sholat yang banyak dikenal dikalangan muslimin ialah hanya diperuntukkan dengan yang mempunyai sebab tertentu, itu sebabnya banyak yang merasa keberatan dengan sholat yang waktunya lima kali sehari semalam bagi yang berakitifas aktif di malam dan di siang hari. Seperti contoh ialah sopir angkot yang tidak mungkin berhenti di tengah jalan ketika bekerja karena untuk menyelesaikan sholat, akan tetapi kalau ia tidak sholat maka ia meninggalkan kewajiban agamanya. Lalu yang sangat bingung untuk mengambil keputusan ialah bagi dokter yang sedang menjalani tugasnya untuk membedah pasien, ketika tiba waktu sholat apakah ia harus meninggalkannya? Jawaban yang pasti ialah ia telah mengorbankan nyawa seseorang untuk melaksanakan sholat. Maka banyak orang yang tidak melakukan sholat dengan alasan menggangu kita dalam berproduktif dan bekerja sehari-hari.
Allah berfirman:
وَابْتَـغِ فِيْمَا اَتَاكَ اللهُ الدَّارَ الْاَخِرَةَ وَلَا تَنْـسَ نَصِيْــبُــــكَ مِنَ الدُّنْــيَــــا
   Dan carilah pada apa-apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhira
t, dan janganlah melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi. (Qs.al qashash: 77)
Di beberapa buku dan bebrapa website yang pernah saya buka banyak yang menekankan­­ bahkan melarang  untuk tidak menjamak kecuali punya udzur atau halangan seperti sakit, bepergian, takut, dank arena hujan. Hanya ada beberapa website yang menyatakan boleh menjamak sholat bukan karena sebab sakit[1], perjalanan dan yang lainnya di antarnya yang membolehkan menjamak solat bagi para karyawan kantor yang memiliki kesibukan yang padat. Apalagi sekarang sedang marak-maraknya pertentangan di kaum muslimin, menjamak sholat tanpa halangan itu identik dengan suatu aliran syiah yaitu suatu mazhab yang dianggap sesat oleh banyak orang.
Maka dalam buku ini mengupas masalah-masalah yang berhubungan dengan menjamak sholat tanpa halangan yang memberikan solusi atas masalah sholat yang tidak boleh ditinggalkan tanpa sebab apapun. Tanpa ada keterikatan mazhab atau yang lainnya. Sebagai solusi bagi kita untuk menjalankan kewajiban dengan mudah tanpa harus meniggalkan sholat untuk mengerjakan rutinitas atau pekerjaan yang lainnya.
وَمَا جَعَلَ لَـكُمْ فِى الديْن مِنْ حَـرَجٍ
Dan dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesulitan. (QS. Al-Hajj: 78)
Menjamak sholat
Menjamak ialah menyatukan, atau menggabungkan. Menjamak shalat ialah menggabungkan dua shalat dalam satu waktu. Seperti mengerjakan sholat duhur diwaktu ashar atau sebaliknya, atau mengerjakan di shalat maghrib dan isya di waktu maghrib.
 Menjamak shalat dibolehkan oleh para ulama mazhab-mazhab islam, dengan kondisi dan syarat tertentu dalam pelaksanaannya tergantung pada ulama-ulama mazhab tersebut. Bahkan disunnahkan untuk mejamak:
1.      Shalat zuhur dan ashar jika seseorang ada di padang arafah untuk menunaikan ibadah haji.
2.      Shalat magrib dan isya bagi yang sedang melakukan manasik haji di mudzalifah baik taqdim maupun takhir
Namun seluruh ulama mazhab, Maliki, Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Syiah Imamiah melarang melakukan jamak dengan:
1.      Menjamak seluruh shalat lima waktu dalam satu waktu;
2.      Menjamak shalat ashar dengan shalat magrib;
3.      Menjamak antara shalat isya dengan subuh;
4.      Menjamak antara shalat subuh dan zuhur.
Alasan menjamak sholat
Menjamak shalat menurut sebagian ulama harus mempunyai sebab-sebab tertentu, selain sebab yang telah disebutkan di atas. Sebab-sebab menjamak sholat ialah:
a.       Musafir
Ketika dalam keadaan musafir dalam perjalanan yang jauh (pendapat tentang jarak masing-masing berbeda) diperbolehkan menjamak, kecuali mazhab hanafi. Karena alasan mereka menjamak shalat hanya diperioritaskan bagi mereka yang sedang melakukan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Selain mazhab hanafi semuanya membolehkan menjamak dengan catatan dan syarat yang berbeda dalam pelaksanaannya, dengan tujuan untuk memberi keringanan serta kemudahan.
b.      Sakit
Keadaan sakit[2] jauh lebih berat untuk mengerjakan ibadah dari pada dalam keadaan perjalanan. Untuk itu diperbolehkan menjamak dengan tujuan meringankann beban bagi si penderita. Sakit dijadikan dalil oleh imam malik untuk diperbolehkannya menjamak sholat-sholatnya.
Ibn hajar menukil dalam syarah bukhari “sebagian ulama membolehkan menjamak di waktu sakit, dan pendapat ini dikuatka oleh imam nawawi, imam ahamad bin hambal, dan sebagian ulama mazhab syafi’i dengan mengkiaskan sakitdengan musafir. Sebagai mana Allah telah memberikan keringanan bagi orang yang sedang musafir ketika keduanya dibolehkan berbuka puasa dan menggunakan fasilitas tayyamum .
c.       Takut (yang membahayakan diri atau harta)
Takut yang dimaksud disini ialah bukan sekedar takut yang seperti biasa dialami sehari-hari. Melainkan takut yang membuat hati dan jiwa terancam jika melakukan aktifitas di luar. Seperti peperangan, huru-hara, yang menyebabkan manusia tidak merasa aman jika ia keluar rumah.
Dalam shahihnya, muslim meriwayatkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: صَلىَّ رَسُوْلُ اللهِ (ص) الظُهْرَ وَ الْعَصْرَ جَمِيْعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيْعًا،فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَ لَا سَفَرٍ
Dari ibn abbas Ra dia berkata: rasulullah shalat zuhur dan asar bersamaan, dan maghrib dan isya bersamaan, bukan dalam keadaan ketakutan maupun perjalanan.
Kemudahan yang ada pada islam yang tidak menginginkan kesulitan bagi tiap pemeluknya.
d.      Hujan
Dalam keadaan sakit islam memeberikankeringanan, islam pun juga memberi keringanan bagi pemeluknya untuk mejamak shalat karena hujan.
Menjamak sholat tanpa udzur
Inilah pembahasan yang menarik perhatian di buku ini, yang membuat perbedaan dari yang lain, yang meberikan solusi atas permasalahan yana berkaitan dengan shalat, yang seakaan-akan menjadi momok bagi para pekerja yang harus berperang dengan waktu. Baik tukang ojek, sopir angkot maupun karyawan-karyawan di perusahaan..
Pada bab sebelumnya, menjamak shalat dikarenakan ada udzur seperti sakit, musafir, hujan, dan ketakutan yang semuanya itu menyulitkan kita untuk melakukan sholat. Atau yang disebut telah masuk pada koridor masyaqqah (keadaan yang menyulitkan).
Jika menukil salah satu kaidah ilmu fiqh yang menyatakan:
اَلْمَشَقةُ تَجْلبُ التَّيْسِيْرِ
Keadaan yang menyulitkan akan mendatangkan keringanan

Dan ayat qur an:
لَايُكَلفُ اللهُ نَفْسًا الا وُسْعَهَا
Allah tidak akan membebani hambanya kecuali sesuai kemampuannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa islam tidak pernah menekan pengikutnya dalam suatu hal perintah ataupun larangan. Kemudahan dan keringanan selalu ada di dalam agama islam.
Menjamak shalat dalam islam diperbolehkan baik karena ada sebab yang memperbolehkan jamak maupun tiada sebab diperbolehkannya untuk menjamak (bukan dalam keadaan yang menyulitkan). Hal ini tidak menunjukkan hanya syiah saja yang menjamak shalatnya dengan tanpa sebab apapun. Akan tetapi semuanya boleh menjamak shalat dengan tanpa halangan apapun, yang berlandaskan pada hadis-hadis mutawatir, yang banyak menceritakan bahwa Rasulullah Saaw telah melakukan shalat duhur dan asar secara bersamaan, maghrib dan isya secara bersamaan tanpa ada sebab apapun.
Pendapat-pendapat ulama mazhab
Pendapat mazhab al-hanafiah
Mazhab al-hanafiah berpeendapat bahwa: “menjamak antara dua shalat (yaitu zuhur dan asar, maghrib dan isya) tidak boleh dilakukan dengan alasan kecuali dengan alasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu hanya boleh menjamak hanya ketika berada di dua tempat yakni di arafah dan muzdalifah, yang keduanya termasuk tempat yang harus dikunjungi oleh mereka yang sedang melaksanakan manasik haji.
Pendapat ini menerima beberapa tanggapan yang beragam dari para ulama’, bahkan dari ulama’ mazhab hanafiah sendiri tidak sependapat dengan ketentuan ini. Para pengikut mazhab hanafiah mengakui bahwa adanya hadis yang membolehkan menjamak antara dua shalat. Namun, mereka mengartikan menjamak disini ialah melakukan shalat di akhir waktu shalat yang awal dan mengawalkan shalat yang kedua, seperti melakukan shalat zuhur di akhir waktu, kira-kira dua menit menjelang asar, sehingga waktunya terkesan menjadi satu. Jamak yang seperti ini biasa mereka sebut dengan istilah jamak shuri.
Pendapat ini mendapat penolakan oleh sebagian ulama, antara lain Imam Al Haramain,[3] beliau mengatakan bahwa “dalam menjamak antara dua shalat terdapat hadis terdapat hadis-hadis yang sangat banyak dan sudah tidak ada lagi bagi mereka untuk mentakwilkannya”. Mereka menolak dengan berbagai dalih dalam mentakwilkan arti dari hadis-hadis jamak.
Diantara mereka mengatakan “pembelokan hadis-hadis Nabi yang dengan tegas dan gamblang sehingga tidak membutuhkan penafsiran lagi mengenai tujuan apalagi dengan menyebutkan “illah” dibaca “alasan” tidak dapat diterima lagi”. Karena apa yag dilakukan oleh Nabi, menjamak antara dua shalat bukan merupakan karena suatu sebab dan bukan akibat karena melakukan sesuatu. Alasan Nabi cukup jelas yang dapat dimengerti oleh masyarakat awam sekalipun, yaitu untuk meringankan beban umatnya di kemudian hari kelak.
Pendapat mazhab malikiyah
Imam Malik[4] meriwayatkan dari kitabnya al Muwaththa beliau menerima hadis yang sanadnya sampai kepada Abdullah bin Abbas:
عن عبدالله ابن عباس قال: صَلىَّ رَسُوْلُ اللهِ (ص) الظُهْرَ وَ الْعَصْرَ جَمِيْعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيْعًا،فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَ لَا سَفَرٍ
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata: bahwasannya Rasulullah Saaw telah melakukan shalat zuhur dan asar secara bersamaan, maghrib dan isya’ bersamaan, tidak dalam keadaan ketakutan dan tidak pula dalam keadaan perjalanan.
Berkenaan dengan hadis ini, imam malik mengomentarinya bahwa dikira pada pada waktu itu sedang terjadi hujan, Merupakan satu bukti bahwa beliau mentakwilkan hadis tersebut dengan mengatakan dikala itu kondisi sedang hujan  namun tanpa disebutkan oleh beliau bahwa hujan yang terjadi itu gerimis atau hujan yang deras. Dan pentakwilan ini disanggah oleh Imam Ahmad bin hambal dalam musnadnya beliau mengatakan bahwa saat itu tidak terjadi hujan dan bukan dalam kondisi takut.
Pendapat Mazhab Syafiiyah
Imam Syafii[5] mengakui bahwa Rasulullah menjamak antara dua shalat di madinah dalam kondisi aman dan bukan dalam keaadaan safar. Namun beliau memprediksikan bahwa jamak yang dilakukan Rasulullah itu akan bertentangan dengan waktu yang telah di tentukan untuk menjalankan shalat sebagaimana yang telah diajarkan oleh malaikat Jibril. Maka beliau mengatakan bahwa yang terjadi di kala itu sedang terjadi hujan yang bisa menjadi illah musyaqqah.
Pembagian waktu yang telah ditentukan tidak bertentangan dengan diperbolehkannya menjamak antara dua shalat secara mutlak. Hal tersebut merupakan keringanan yang diberikan sebagai kelonggaran bagi umat Muhammad Saww dalam menjalankan kesibukannya sehari-hari.
Pendapat Mazhab Hanbaliyah
            Imam Ahmad bin hanbal banyak sekali meriwayatkan dalam musnadnya yang menyatakan kebolehan menjamak antara dua shalat bukan karena adanya illah musyaqqah, sebagaimana yang disebutkan oleh pendapat sebelumnya tetapi mutlak karena memang untuk memberikan keringanan kepada umat Nabi Muhammad Saww di kemudian hari kelak. Dan riwayat-riwayat ini dinyatakan sahih sanadnya sahih oleh penyarahnya.
Seperti hadis berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ صَفْوَانِ بْنِ اُمَّيَّةِ الْجَمْحِيْ: حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ اَبَانُ عَنْ عِكْرِمَة عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ ص فِى الْمَدِيْنَةِ مُقِيْمًا غَيْرَ مُسَافِرٍ سَبْعًا وَ ثَمَنِيًّا
“telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin Utsman bin Shufyan bin Umayah al- Jamhi, ia berkata: “al Hakam bin Aban ia memberitahukan dari Ikrimah, dari Ibn Abbas, ia berkata: “Rasulullah melakukan Shalat di Madinah dalam keadaan muqim dan bukan musafir”. Penyarahnya mengatakan isnadnya Shahih.[6]
Komentar beberapa hadis oleh beberapa tokoh
            Prof. Ratib Ahmad Abdul Wahid, penulis dari Suriah dalam artikelnya di majalah ath thabaqah al islamiyah dengan tajuk menjamak antara dua shalat dalam naungan Al-qur an dan sunnah serta pendapat ulama mazhab. Beliau berkomentar mengenai peletakan hadis di shahih bukhari yang tidak meletakkan hadis menjamak pada babnya melainkan yang ditempatkan pada bab mengundurkan waktu shalat dzuhur ke asar yang tampak pada zahir-zahir yang ada. Hal ini juga disayangkan oleh Syaikh Zakaria al-Anshari dalam sarah sahih bukhari ( Tuhfath al-Bari) dengan berkomentar: “seharusnya hadis itu berada pada bab shalat dzuhur bersamaan dan shlat magrib dengan isyak bersamaan bukan pada bab mengakhirkan salat dzuhur ke shalat asar. Lalu, prof. Ratib Ahmad melanjutkan: “perbedaan persepsi antar keduanya sangatlah jelas. Ungkapan yang menyatakan mengundur waktu shalat dzuhur ke shalat asar dan shalat dzuhur bersamaan dengan asar sangatlah jauh berbeda”.
            Sayyid Abdul Husain Syarafuddin ra dalam kitabnya Masail Fiqhiyyah. Ia berkata: “menurut saya, hadis hadis sahih ini telah jelas bahwa illah pensyariaatan jamak tersebut adalah untuk mempermudah dan menghilangkan beban mereka.” Kemudahan bagi kaum pekerja yang sibuk, mereka adalah mayoritas. Kemudian beliau melanjutkan: “oleh karenanya Anda melaihat imam Muslim tidak memuatnya dalam bab jamak fi safar melainkan menghimpunnya dalam bab jama’ fil hadhar. Sehingga hadis-hadis tersebut menjadi argument yang cukup untuk diperkenankannya menjama shalat dalam keadaan muqim secara mutlaq. Dan ini adalah dari pemahaman dan ilmu yang dimiliki oleh imam Muslim serta kejujurannya.
Imam Nawawi dalam syarahnya berkata: “adapun hadis yang diriwayatkan oleh ibn Abbas tadi yang menurut imam Turmudzi ditolak secara aklamasi (ijmak) oleh seluruh ulama, pendapat ini tidak benar! Karena sebahagian mereka tetap mengamalkan hadis tersebut walaupun dengan beberapa penakwilan, diantaranya:
  1. Bahwa jamak tersebut dilakukan karena hujan. Pendapat ini yang popular di kalangan para Ulama terdahulu. Menurut Imam Nawawi ini menjadi lemah, karena adanya riwayat yang menyatakan “bukan karena hujan”.
  2. Di antara mereka yang mentakwilkan: Shalat yang dilakukan dalam keadaan mendung (shalat Zuhur), setelah awannya tersingkap ternyata sudah asar maka Rasulullah langsung melakukan shalat asar. Pendapat ini ditolak oleh imam Nawawi karena ini bisa hanya terjadi untuk shalat dzuhur dan Asar (siang) tapi tidak mungkin terjadi antara magrib dan isya’(malam).
  3. Diantara mereka yang mentakwilkan sebagai jamak shuri. Menurut imam Nawawi pendapat seperti ini sangat lemah bahkan bathil, karena sangat bertentangan dengan dzahir hadis jamak tadi.
  4. Diantara mereka ada pula yang mentakwilkan karena adanya udzur, maka menurut imam Nawawi pendapat seperti ini menyalahi fakta, kalau emang hanya untuk yang sedang sakit, pasti yang bermakmum kepada Rasulullah Saaw kala itu hanya orang-orang yang sakit saja.
  5. Adapula yang mengatakan bahwa menjamak shalat tanpa halangan adalah perbuatan yang masuk dalam lingkaran dosa besar karena ada hadis yang menyatakan seperti itu. Jawaban atas masalah ini, hadis tersebut telah di dhaifkan oleh para ulama, bahkan dikategorikan ke dalam hadis palsu.
  6. Ada pula yang berpendapat bahwa: “setiap nama Shalat itu sesuai dengan waktunya pelaksanaannya. Sedangkan menjamak bertentangan dengan waktunya. Maka pendapat ini menyalahi aturan kosa kata bahasa Arab, misalnya shalat Subuh, yang di laksanakan di waktu terbitnya fajar hingga matahari terbit, bukan subuh yang berarti pagi.
Dr. Yusuf Qardawi ( salah seorang pemuka agama islam yang paling alim dan terkemuka di Mesir) dalam kitab fatawa Mu’shirah, beliau berfatwa:  “jika suatu saat, ternyata kita sulit untuk mengerjakan shalat-shalat wajib tepat waktu, maka boleh untuk shalat tersebut di jamak”.
Kesimpulan
Agama islam adalah agama yang mudah, fleksibel, dan praktis dalam setiap menghadapi perubahan serta tuntutan zaman hingga akhir masa kelak. Maka tiada lagi alasan untuk meninggalkan shalat karena dapat menggangu rutinitas dan produktifitas umat muslim, atau akan membayakan nyawa seseorang bagi doker. Shalat harus tetap dilaksanakan, sebagaimana firman Allah yang mengecam orang yang lalai dalam shalatnya.
فويل للمصلين، الذينهم عن صلاتهم ساهون
Maka celakalah bagi orang yang shalat. Yaitu mereka yang melalaikan shalatnya. (Qs. Al-Maun: 4-5).
Diperbolehkannya menjamak shalat tanpa halangan mempermudahkan dokter dalam menjalani tugasnya, sopir angkot di jalanan tanpa harus berhenti di jalan untuk melakukan shalat, karyawan tanpa harus mengorbankan pekerjaanya, dan yang lainnya. Dengan begitu kita masih bisa untuk tetap melaksanakan wasiat Rasulullah menjelang wafatnya, yang belaiu berpesan dan mengulang-ngulang kata shalat, shalat, shalat !
 Karena sesungguhnya Allah tidak memberi beban makhluknya kecuali atas dasar kemampuan makhluknya. Dan Allah akan lebih senang ketika kemudahan dan keringanan yang diberikanNya diterima dan dilakukan, sebagiamana Dia senang ketika perintah dan aturannya dilaksanakan.


[1] http://secondprince.wordpress.com/2008/06/20/shalat-jama-dibolehkan-tanpa-syarat
[2] Keadaan sakit yang parah
[3] Imam al haramain ialah Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al Juawaini. Seorang fuqaha syafiah dan menjadi guru al Ghazali.
[4] Malik bin Anas. Berasal dari kabilah yamaniah. Seorang yang terkemuka di bidang hadis di madinah waktu itu .
[5] Muhammad Bin Idris As Syafi’i
[6] Hadis no. 1852

0 Komentar:

Posting Komentar

assalamualaikum

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda