Menjamak Sholat Tanpa Halangan
Pendahuluan
Menjamak
sholat yang banyak dikenal dikalangan muslimin ialah hanya diperuntukkan dengan
yang mempunyai sebab tertentu, itu sebabnya banyak yang merasa keberatan dengan
sholat yang waktunya lima kali sehari semalam bagi yang berakitifas aktif di malam dan di siang hari. Seperti contoh ialah sopir angkot
yang tidak mungkin berhenti di tengah jalan ketika bekerja karena untuk
menyelesaikan sholat, akan tetapi kalau ia tidak sholat maka ia meninggalkan kewajiban
agamanya. Lalu yang sangat bingung untuk mengambil keputusan ialah bagi dokter
yang sedang menjalani tugasnya untuk membedah pasien, ketika tiba waktu sholat apakah
ia harus meninggalkannya? Jawaban yang pasti ialah ia telah mengorbankan nyawa
seseorang untuk melaksanakan sholat. Maka banyak orang yang tidak melakukan
sholat dengan alasan menggangu kita dalam berproduktif dan bekerja sehari-hari.
Allah berfirman:
وَابْتَـغِ
فِيْمَا اَتَاكَ اللهُ الدَّارَ الْاَخِرَةَ وَلَا تَنْـسَ نَصِيْــبُــــكَ مِنَ
الدُّنْــيَــــا
Dan carilah pada
apa-apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhira
t,
dan janganlah melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi. (Qs.al
qashash: 77)
Di
beberapa buku dan bebrapa website yang pernah saya buka banyak yang menekankan
bahkan melarang untuk tidak menjamak
kecuali punya udzur atau halangan seperti sakit, bepergian, takut, dank arena
hujan. Hanya ada beberapa website yang menyatakan boleh menjamak sholat bukan
karena sebab sakit[1],
perjalanan dan yang lainnya di antarnya yang membolehkan menjamak solat bagi
para karyawan kantor yang memiliki kesibukan yang padat. Apalagi sekarang
sedang marak-maraknya pertentangan di kaum muslimin, menjamak sholat tanpa
halangan itu identik dengan suatu aliran syiah yaitu suatu mazhab yang dianggap
sesat oleh banyak orang.
Maka
dalam buku ini mengupas masalah-masalah yang berhubungan dengan menjamak sholat
tanpa halangan yang memberikan solusi atas masalah sholat yang tidak boleh
ditinggalkan tanpa sebab apapun. Tanpa ada keterikatan mazhab atau yang
lainnya. Sebagai solusi bagi kita untuk menjalankan kewajiban dengan mudah
tanpa harus meniggalkan sholat untuk mengerjakan rutinitas atau pekerjaan yang
lainnya.
وَمَا
جَعَلَ لَـكُمْ فِى الديْن مِنْ حَـرَجٍ
Dan dia tidak menjadikan
untukmu dalam agama suatu kesulitan. (QS. Al-Hajj: 78)
Menjamak
sholat
Menjamak
ialah menyatukan, atau menggabungkan. Menjamak shalat ialah menggabungkan dua
shalat dalam satu waktu. Seperti mengerjakan sholat duhur diwaktu ashar atau
sebaliknya, atau mengerjakan di shalat maghrib dan isya di waktu maghrib.
Menjamak shalat dibolehkan oleh para ulama
mazhab-mazhab islam, dengan kondisi dan syarat tertentu dalam pelaksanaannya
tergantung pada ulama-ulama mazhab tersebut. Bahkan disunnahkan untuk mejamak:
1. Shalat
zuhur dan ashar jika seseorang ada di padang arafah untuk menunaikan ibadah
haji.
2. Shalat
magrib dan isya bagi yang sedang melakukan manasik haji di mudzalifah baik
taqdim maupun takhir
Namun
seluruh ulama mazhab, Maliki, Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Syiah Imamiah
melarang melakukan jamak dengan:
1. Menjamak
seluruh shalat lima waktu dalam satu waktu;
2. Menjamak
shalat ashar dengan shalat magrib;
3. Menjamak
antara shalat isya dengan subuh;
4. Menjamak
antara shalat subuh dan zuhur.
Alasan
menjamak sholat
Menjamak
shalat menurut sebagian ulama harus mempunyai sebab-sebab tertentu, selain
sebab yang telah disebutkan di atas. Sebab-sebab menjamak sholat ialah:
a. Musafir
Ketika
dalam keadaan musafir dalam perjalanan yang jauh (pendapat tentang jarak
masing-masing berbeda) diperbolehkan menjamak, kecuali mazhab hanafi. Karena
alasan mereka menjamak shalat hanya diperioritaskan bagi mereka yang sedang
melakukan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Selain mazhab hanafi semuanya
membolehkan menjamak dengan catatan dan syarat yang berbeda dalam
pelaksanaannya, dengan tujuan untuk memberi keringanan serta kemudahan.
b. Sakit
Keadaan
sakit[2]
jauh lebih berat untuk mengerjakan ibadah dari pada dalam keadaan perjalanan.
Untuk itu diperbolehkan menjamak dengan tujuan meringankann beban bagi si
penderita. Sakit dijadikan dalil oleh imam malik untuk diperbolehkannya menjamak
sholat-sholatnya.
Ibn
hajar menukil dalam syarah bukhari “sebagian ulama membolehkan menjamak di
waktu sakit, dan pendapat ini dikuatka oleh imam nawawi, imam ahamad bin
hambal, dan sebagian ulama mazhab syafi’i dengan mengkiaskan sakitdengan
musafir. Sebagai mana Allah telah memberikan keringanan bagi orang yang sedang
musafir ketika keduanya dibolehkan berbuka puasa dan menggunakan fasilitas
tayyamum .
c. Takut
(yang membahayakan diri atau harta)
Takut
yang dimaksud disini ialah bukan sekedar takut yang seperti biasa dialami
sehari-hari. Melainkan takut yang membuat hati dan jiwa terancam jika melakukan
aktifitas di luar. Seperti peperangan, huru-hara, yang menyebabkan manusia
tidak merasa aman jika ia keluar rumah.
Dalam
shahihnya, muslim meriwayatkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: صَلىَّ رَسُوْلُ
اللهِ (ص) الظُهْرَ وَ الْعَصْرَ جَمِيْعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيْعًا،فِيْ
غَيْرِ خَوْفٍ وَ لَا سَفَرٍ
Dari
ibn abbas Ra dia berkata: rasulullah shalat zuhur dan asar bersamaan, dan
maghrib dan isya bersamaan, bukan dalam keadaan ketakutan maupun perjalanan.
Kemudahan
yang ada pada islam yang tidak menginginkan kesulitan bagi tiap pemeluknya.
d. Hujan
Dalam
keadaan sakit islam memeberikankeringanan, islam pun juga memberi keringanan bagi
pemeluknya untuk mejamak shalat karena hujan.
Menjamak
sholat tanpa udzur
Inilah
pembahasan yang menarik perhatian di buku ini, yang membuat perbedaan dari yang
lain, yang meberikan solusi atas permasalahan yana berkaitan dengan shalat,
yang seakaan-akan menjadi momok bagi para pekerja yang harus berperang dengan
waktu. Baik tukang ojek, sopir angkot maupun karyawan-karyawan di perusahaan..
Pada
bab sebelumnya, menjamak shalat dikarenakan ada udzur seperti sakit, musafir,
hujan, dan ketakutan yang semuanya itu menyulitkan kita untuk melakukan sholat.
Atau yang disebut telah masuk pada koridor masyaqqah (keadaan yang
menyulitkan).
Jika menukil salah satu kaidah
ilmu fiqh yang menyatakan:
اَلْمَشَقةُ
تَجْلبُ التَّيْسِيْرِ
Keadaan yang menyulitkan akan mendatangkan keringanan
Dan ayat qur an:
لَايُكَلفُ
اللهُ نَفْسًا الا وُسْعَهَا
Allah tidak akan membebani hambanya
kecuali sesuai kemampuannya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa islam tidak pernah menekan pengikutnya dalam suatu
hal perintah ataupun larangan. Kemudahan dan keringanan selalu ada di dalam
agama islam.
Menjamak
shalat dalam islam diperbolehkan baik karena ada sebab yang memperbolehkan
jamak maupun tiada sebab diperbolehkannya untuk menjamak (bukan dalam keadaan
yang menyulitkan). Hal ini tidak menunjukkan hanya syiah saja yang menjamak
shalatnya dengan tanpa sebab apapun. Akan tetapi semuanya boleh menjamak shalat
dengan tanpa halangan apapun, yang berlandaskan pada hadis-hadis mutawatir,
yang banyak menceritakan bahwa Rasulullah Saaw telah melakukan shalat duhur dan
asar secara bersamaan, maghrib dan isya secara bersamaan tanpa ada sebab
apapun.
Pendapat-pendapat ulama mazhab
Pendapat
mazhab al-hanafiah
Mazhab
al-hanafiah berpeendapat bahwa: “menjamak antara dua shalat (yaitu zuhur dan
asar, maghrib dan isya) tidak boleh dilakukan dengan alasan kecuali dengan
alasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu hanya boleh menjamak hanya
ketika berada di dua tempat yakni di arafah dan muzdalifah, yang keduanya
termasuk tempat yang harus dikunjungi oleh mereka yang sedang melaksanakan
manasik haji.
Pendapat
ini menerima beberapa tanggapan yang beragam dari para ulama’, bahkan dari
ulama’ mazhab hanafiah sendiri tidak sependapat dengan ketentuan ini. Para
pengikut mazhab hanafiah mengakui bahwa adanya hadis yang membolehkan menjamak
antara dua shalat. Namun, mereka mengartikan menjamak disini ialah melakukan shalat
di akhir waktu shalat yang awal dan mengawalkan shalat yang kedua, seperti
melakukan shalat zuhur di akhir waktu, kira-kira dua menit menjelang asar, sehingga
waktunya terkesan menjadi satu. Jamak yang seperti ini biasa mereka sebut
dengan istilah jamak shuri.
Pendapat
ini mendapat penolakan oleh sebagian ulama, antara lain Imam Al Haramain,[3]
beliau mengatakan bahwa “dalam menjamak antara dua shalat terdapat hadis terdapat
hadis-hadis yang sangat banyak dan sudah tidak ada lagi bagi mereka untuk
mentakwilkannya”. Mereka menolak dengan berbagai dalih dalam mentakwilkan arti dari
hadis-hadis jamak.
Diantara
mereka mengatakan “pembelokan hadis-hadis Nabi yang dengan tegas dan gamblang
sehingga tidak membutuhkan penafsiran lagi mengenai tujuan apalagi dengan
menyebutkan “illah” dibaca “alasan” tidak dapat diterima lagi”. Karena apa yag
dilakukan oleh Nabi, menjamak antara dua shalat bukan merupakan karena suatu sebab
dan bukan akibat karena melakukan sesuatu. Alasan Nabi cukup jelas yang dapat
dimengerti oleh masyarakat awam sekalipun, yaitu untuk meringankan beban
umatnya di kemudian hari kelak.
Pendapat
mazhab malikiyah
Imam
Malik[4]
meriwayatkan dari kitabnya al Muwaththa beliau menerima hadis yang sanadnya
sampai kepada Abdullah bin Abbas:
عن عبدالله ابن عباس قال:
صَلىَّ رَسُوْلُ اللهِ (ص) الظُهْرَ وَ الْعَصْرَ جَمِيْعًا، وَالْمَغْرِبَ
وَالْعِشَاءَ جَمِيْعًا،فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَ لَا سَفَرٍ
Dari
Abdullah bin Abbas dia berkata: bahwasannya Rasulullah Saaw telah melakukan
shalat zuhur dan asar secara bersamaan, maghrib dan isya’ bersamaan, tidak
dalam keadaan ketakutan dan tidak pula dalam keadaan perjalanan.
Berkenaan
dengan hadis ini, imam malik mengomentarinya bahwa dikira pada pada waktu itu
sedang terjadi hujan, Merupakan satu bukti bahwa beliau mentakwilkan hadis
tersebut dengan mengatakan dikala itu kondisi sedang hujan namun tanpa disebutkan oleh beliau bahwa hujan
yang terjadi itu gerimis atau hujan yang deras. Dan pentakwilan ini disanggah
oleh Imam Ahmad bin hambal dalam musnadnya beliau mengatakan bahwa saat itu
tidak terjadi hujan dan
bukan dalam kondisi takut.
Pendapat
Mazhab Syafiiyah
Imam
Syafii[5]
mengakui bahwa Rasulullah menjamak antara dua shalat di madinah dalam kondisi
aman dan bukan dalam keaadaan safar. Namun beliau memprediksikan bahwa jamak
yang dilakukan Rasulullah itu akan bertentangan dengan waktu yang telah di
tentukan untuk menjalankan shalat sebagaimana yang telah diajarkan oleh
malaikat Jibril. Maka beliau mengatakan bahwa yang terjadi di kala itu sedang
terjadi hujan yang bisa menjadi illah musyaqqah.
Pembagian
waktu yang telah ditentukan tidak bertentangan dengan diperbolehkannya menjamak
antara dua shalat secara mutlak. Hal tersebut merupakan keringanan yang
diberikan sebagai kelonggaran bagi umat Muhammad Saww dalam menjalankan
kesibukannya sehari-hari.
Pendapat
Mazhab Hanbaliyah
Imam Ahmad bin hanbal banyak sekali
meriwayatkan dalam musnadnya yang menyatakan kebolehan menjamak antara dua
shalat bukan karena adanya illah musyaqqah, sebagaimana yang disebutkan oleh
pendapat sebelumnya tetapi mutlak karena memang untuk memberikan keringanan
kepada umat Nabi Muhammad Saww di kemudian hari kelak. Dan riwayat-riwayat ini
dinyatakan sahih sanadnya sahih oleh penyarahnya.
Seperti
hadis berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ
بْنِ صَفْوَانِ بْنِ اُمَّيَّةِ الْجَمْحِيْ: حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ اَبَانُ عَنْ
عِكْرِمَة عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ ص فِى الْمَدِيْنَةِ
مُقِيْمًا غَيْرَ مُسَافِرٍ سَبْعًا وَ ثَمَنِيًّا
“telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin
Utsman bin Shufyan bin Umayah al- Jamhi, ia berkata: “al Hakam bin Aban ia memberitahukan
dari Ikrimah, dari Ibn Abbas, ia berkata: “Rasulullah melakukan Shalat di
Madinah dalam keadaan muqim dan bukan musafir”. Penyarahnya mengatakan isnadnya
Shahih.[6]
Komentar
beberapa hadis oleh beberapa tokoh
Prof. Ratib
Ahmad Abdul Wahid, penulis dari Suriah dalam artikelnya di majalah ath thabaqah
al islamiyah dengan tajuk menjamak antara dua shalat dalam naungan Al-qur an
dan sunnah serta pendapat ulama mazhab. Beliau berkomentar mengenai peletakan
hadis di shahih bukhari yang tidak meletakkan hadis menjamak pada babnya
melainkan yang ditempatkan pada bab mengundurkan waktu shalat dzuhur ke asar
yang tampak pada zahir-zahir yang ada. Hal ini juga disayangkan oleh Syaikh
Zakaria al-Anshari dalam sarah sahih bukhari ( Tuhfath al-Bari) dengan berkomentar:
“seharusnya hadis itu berada pada bab shalat dzuhur bersamaan dan shlat magrib
dengan isyak bersamaan bukan pada bab mengakhirkan salat dzuhur ke shalat asar.
Lalu, prof. Ratib Ahmad melanjutkan: “perbedaan persepsi antar keduanya sangatlah
jelas. Ungkapan yang menyatakan mengundur waktu shalat dzuhur ke shalat asar
dan shalat dzuhur bersamaan dengan asar sangatlah jauh berbeda”.
Sayyid
Abdul Husain Syarafuddin ra dalam kitabnya Masail Fiqhiyyah. Ia berkata:
“menurut saya, hadis hadis sahih ini telah jelas bahwa illah pensyariaatan
jamak tersebut adalah untuk mempermudah dan menghilangkan beban mereka.”
Kemudahan bagi kaum pekerja yang sibuk, mereka adalah mayoritas. Kemudian
beliau melanjutkan: “oleh karenanya Anda melaihat imam Muslim tidak memuatnya
dalam bab jamak fi safar melainkan menghimpunnya dalam bab jama’ fil
hadhar. Sehingga hadis-hadis tersebut menjadi argument yang cukup untuk
diperkenankannya menjama shalat dalam keadaan muqim secara mutlaq. Dan ini
adalah dari pemahaman dan ilmu yang dimiliki oleh imam Muslim serta
kejujurannya.
Imam
Nawawi dalam syarahnya berkata: “adapun hadis yang diriwayatkan oleh ibn Abbas
tadi yang menurut imam Turmudzi ditolak secara aklamasi (ijmak) oleh seluruh
ulama, pendapat ini tidak benar! Karena sebahagian mereka tetap mengamalkan
hadis tersebut walaupun dengan beberapa penakwilan, diantaranya:
- Bahwa
jamak tersebut dilakukan karena hujan. Pendapat ini yang popular di
kalangan para Ulama terdahulu. Menurut Imam Nawawi ini menjadi lemah,
karena adanya riwayat yang menyatakan “bukan karena hujan”.
- Di
antara mereka yang mentakwilkan: Shalat yang dilakukan dalam keadaan
mendung (shalat Zuhur), setelah awannya tersingkap ternyata sudah asar
maka Rasulullah langsung melakukan shalat asar. Pendapat ini ditolak oleh
imam Nawawi karena ini bisa hanya terjadi untuk shalat dzuhur dan Asar
(siang) tapi tidak mungkin terjadi antara magrib dan isya’(malam).
- Diantara
mereka yang mentakwilkan sebagai jamak shuri. Menurut imam Nawawi pendapat
seperti ini sangat lemah bahkan bathil, karena sangat bertentangan dengan
dzahir hadis jamak tadi.
- Diantara
mereka ada pula yang mentakwilkan karena adanya udzur, maka menurut imam
Nawawi pendapat seperti ini menyalahi fakta, kalau emang hanya untuk yang
sedang sakit, pasti yang bermakmum kepada Rasulullah Saaw kala itu hanya
orang-orang yang sakit saja.
- Adapula
yang mengatakan bahwa menjamak shalat tanpa halangan adalah perbuatan yang
masuk dalam lingkaran dosa besar karena ada hadis yang menyatakan seperti
itu. Jawaban atas masalah ini, hadis tersebut telah di dhaifkan oleh para
ulama, bahkan dikategorikan ke dalam hadis palsu.
- Ada
pula yang berpendapat bahwa: “setiap nama Shalat itu sesuai dengan
waktunya pelaksanaannya. Sedangkan menjamak bertentangan dengan waktunya.
Maka pendapat ini menyalahi aturan kosa kata bahasa Arab, misalnya shalat
Subuh, yang di laksanakan di waktu terbitnya fajar hingga matahari terbit,
bukan subuh yang berarti pagi.
Dr. Yusuf Qardawi ( salah seorang pemuka
agama islam yang paling alim dan terkemuka di Mesir) dalam kitab fatawa Mu’shirah,
beliau berfatwa: “jika suatu saat,
ternyata kita sulit untuk mengerjakan shalat-shalat wajib tepat waktu, maka
boleh untuk shalat tersebut di jamak”.
Kesimpulan
Agama
islam adalah agama yang mudah, fleksibel, dan praktis dalam setiap menghadapi
perubahan serta tuntutan zaman hingga akhir masa kelak. Maka tiada lagi alasan
untuk meninggalkan shalat karena dapat menggangu rutinitas dan produktifitas
umat muslim, atau akan membayakan nyawa seseorang bagi doker. Shalat harus tetap
dilaksanakan, sebagaimana firman Allah yang mengecam orang yang lalai dalam
shalatnya.
فويل
للمصلين، الذينهم عن صلاتهم ساهون
Maka
celakalah bagi orang yang shalat. Yaitu mereka yang melalaikan shalatnya. (Qs.
Al-Maun: 4-5).
Diperbolehkannya
menjamak shalat tanpa halangan mempermudahkan dokter dalam menjalani tugasnya,
sopir angkot di jalanan tanpa harus berhenti di jalan untuk melakukan shalat,
karyawan tanpa harus mengorbankan pekerjaanya, dan yang lainnya. Dengan begitu
kita masih bisa untuk tetap melaksanakan wasiat Rasulullah menjelang wafatnya,
yang belaiu berpesan dan mengulang-ngulang kata shalat, shalat, shalat !
Karena sesungguhnya Allah tidak memberi beban
makhluknya kecuali atas dasar kemampuan makhluknya. Dan Allah akan lebih senang
ketika kemudahan dan keringanan yang diberikanNya diterima dan dilakukan,
sebagiamana Dia senang ketika perintah dan aturannya dilaksanakan.
[1]
http://secondprince.wordpress.com/2008/06/20/shalat-jama-dibolehkan-tanpa-syarat
[2]
Keadaan sakit yang parah
[3] Imam al haramain ialah Abu
al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al Juawaini. Seorang fuqaha syafiah dan
menjadi guru al Ghazali.
[4]
Malik bin Anas. Berasal dari kabilah yamaniah. Seorang yang terkemuka di bidang
hadis di madinah waktu itu .
[5]
Muhammad Bin Idris As Syafi’i
[6]
Hadis no. 1852
0 Komentar:
Posting Komentar
assalamualaikum
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda